Facebook

banner image

Belajar 'Cemburu' dari Aisyah r.a

 














Aisyah berkata, “Halah binti Khuwailid saudara perempuan Khadijah meminta izin untuk menghadap Rasulullah saw, beliau teringat Khadijah, maka beliau tersentak gembira karena itu, beliau bersabda, ‘Ya Allah, Halah.’ Aisyah berkata, “Maka aku cemburu, aku berkata, ‘Mengapa engkau masih mengenang wanita tua Quraisy yang giginya tanggal karena tua dan dia telah wafat beberapa lama padahal saat ini Allah telah memberimu ganti dengan yang lebih baik darinya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Aisyah berkata, “Maka wajah Nabi saw memerah, aku tidak pernah melihatnya demikian kecuali pada saat wahyu turun atau ketika awan yang hendak menurunkan hujan yang bisa rahmat dan bisa pula adzab.” Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad no. 52171, al-Arnauth berkata, “Sanadnya shahih di atas syarat Muslim.” 
Akhirnya mengerti setidaknya lebih paham dari sebelumnya tentang Ummul Mukminin  Aisyah ra dan mengapa beliau seperti itu. CEMBURU
Dulu, saya pernah bertanya begini: “Kenapa bunda Aisyah tega sekali mengatai ummul mukminin Khadijah ra dengan sebutan nenek-nenek? Kenapa bunda Aisyah tidak bisa menjaga lisannya?”
Sekarang, sebaliknya saya malah menjadi terkagum dengan beliau radhiallahu anha.
Wanita, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, sudah menjadi fitrahnya lah memiliki perasaan cemburu yang “konsentrasinya” lebih tinggi ketimbang laki-laki. Jika ada yang mengatakan wajar jika seorang wanita cemburu, KARENA DIA ADALAH WANITA, statement seperti ini tidak sepenuhnya benar, sebab laki-laki pun memiliki rasa cemburu, namun karena perempuan memiliki kepekaan rasa yang lebih, maka fenomena ‘cemburu’ ini lebih sering didapati DIEKSPRESIKAN oleh wanita. Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, asal dari sifat cemburu bukanlah hasil usaha si wanita, namun wanita memang diciptakan dengan sifat tersebut. Namun, bila cemburu itu melampaui batas dari kadar yang semestinya, maka menjadi tercela.
Selain itu, yang menjadi penyebab seseorang menjadi pencemburu adalah sifat alami yang ia miliki. Bagi individu yang “beruntung” memiliki sifat cemburu yang berlebih, saya ingin mengatakan: SELAMAT BERJIHAD MENGENDALIKANNYA!
Jihad terberat adalah jihad melawan hawa nafsu. Cemburu, adalah sedikit bagian dari nafsu. Pada hakikatnya rasa cemburu ada karena adanya rasa (ingin) memiliki, rasa ingin diperhatikan, dan (KATANYA) rasa cinta, yang semua itu berdasar atas kecintaan pada diri sendiri. Ketika kita mencintai seseorang, sebenarnya kecintaan itu karena kita mencintai diri kita sendiri. Ketika kita menyukai seseorang yang berkepribadian tegas, itu karena kita merasa nyaman dengan orang yang berkepribadian seperti itu. Kita tidak akan menyukai sesuatu jika sesuatu itu tidak baik MENURUT dan BAGI KITA.
Dan… Kita tidak akan merasa cemburu jika bukan karena kita ingin dipandang lebih “berharga” dimata’nya’.
Rasa cemburu berlebih yang telah mendarah daging dalam diri seseorang sebagai suatu sifat, bukan hal mudah untuk menghilangkannya. Bahkan boleh dibilang tidak mungkin dapat dihilangkan. Namun, bukan berarti tidak dapat dikontrol atau dikurangi. Rasa cemburu dapat diarahkan “pengekspresiannya” ke hal-hal positif. Misalnya sebagai impact dari rasa cemburu tersebut kita menjadi lebih termotivasi untuk lebih berprestasi, bukan malah menjatuhkan atau merasa senang jika sang saingan jatuh atau gagal. Jangan bersikap seperti anak SMP yang berkata “yes!” dalam hatinya jika saingan di kelasnya mendapat nilai kurang. Menanglah tanpa mengalahkan orang lain.

Tentang salah/dosakah jika cemburu, saya tertarik mengutip dari sebuah artikel “Saat Cemburu Menyapa” yang ditulis oleh Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah:

“Pernah ketika Nabi berada di rumah seorang istrinya, salah seorang ummahatul mukminin (istri beliau yang lain) mengirimkan sepiring makanan untuk beliau. Melihat hal itu, istri yang Nabi sedang berdiam di rumahnya segera memukul tangan pelayan yang membawa makanan tersebut hingga jatuhlah piring itu dan pecah. Nabipun mengumpulkan pecahan piring tersebut kemudian mengumpulkan makanan yang berserakan lalu beliau letakkan di atas piring yang pecah seraya berkata: “Ibu kalian sedang cemburu.” Beliau lalu menahan pelayan tersebut hingga diberikan kepadanya ganti berupa piring yang masih utuh milik istri yang memecahkannya, sementara piring yang pecah disimpan di tempatnya. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5225)
Hadits ini menunjukkan wanita yang sedang cemburu tidaklah diberi hukuman atas perbuatan yang dia lakukan tatkala api cemburu berkobar. Karena dalam keadaan demikian, akalnya tertutup disebabkan kemarahan yang sangat. (Fathul Bari, 9/391, Syarah Shahih Muslim, 15/202 ).
Namun bila cemburu itu mengantarkan kepada perbuatan yg diharamkan  tdk membiarkannya. Suatu saat ‘Aisyahrseperti mengghibah mk Rasulullah  berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah cukup bagimu Shafiyyah dia itu begini dan begitu.” Salah seorang rawi hadits ini mengatakan bahwa yg dimaksud ‘Aisyah adl Shafiyyah itu pendek. Mendengar hal tersebut  berkata Rasulullah kepada ‘Aisyah: “Sungguh engkau telah mengucapkan satu kata yg seandai dicampur dgn air lautan niscaya akan dapat mencampurinya "

Aisyah Radhiallahu anha, andai disuruh memilih beliau mungkin tidak ingin memiliki perasaan aneh yang terkadang menyakitkan itu. Beliau pernah mengemukakan betapa kagumnya beliau dengan Saudah binti Zam’ah yang telah memberikan ‘jatah hari’nya kepada beliau. Aisyah ra bahkan pernah mengatakan bahwa tidak ada wanita yang ia ingin menjadi sepertinya selain dari Saudah ra.
Hmmm… tidak bisa disalahkan sepenuhnya kecemburuan yang Aisyah atau wanita lainnya ekspresikan secara “kekanakan”. Karena tampak baik-baik saja saat terbakar api cemburu itu memang sulit. SULIT. Jika ada yang beranggapan “lho, itu kan resiko jadi istri yang dipoligami? Mesti ditahan donk rasa cemburunya!”. Yap! Kritik diterima. tapi sekali lagi hal itu tidak mudah. Butuh proses dan pembelajaran. Terlebih mengingat watak (yang sepertinya memang keras dan tipe pencemburu) dan usia beliau yang masih SANGAT MUDA waktu itu (9-18 tahun). Namun beruntung Rasulullah senantiasa menegur dan mendidik beliau agar mampu mengontrol rasa cemburunya itu. Aisyah…..dengan segala ilmunya pasti sudah berusaha… Berjihad dengan emosinya sendiri.
Satu hal yang saya suka dari beliau, beliau tampak begitu bijaksana ketika meriwayatkan berbagai hadits tentang rumah tangga Nabi dan istri-istrinya yang lain, juga tentang kelebihan-kelebihan istri-istri Rasulullah yang lain. Tanpa rasa berat, jujur, dan detail. Hmm… Kedewasaan itu memang berjenjang
Akhirnya, belajar dari Aisyah radhiallahu anha, cemburu adalah suatu hal yang sangat manusiawi, namun jangan biarkan ia merusak iman, kejujuran, kebijaksanaan dan sportifitas.

Salam
_Bumi Jingga Azzura_

Belajar 'Cemburu' dari Aisyah r.a Belajar 'Cemburu' dari Aisyah r.a Reviewed by Fitriani Razak on 05.08 Rating: 5

2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.