Pada awalnya, bukanlah pernikahan yang merupakan kebutuhan, tapi teman hidup yang berlawan jenis dengan kita, yang mampu membuat kita merasa tenteram. Kita mungkin masih mengingat bagaimana nenek moyang kita Nabi Adam saat berada di langit yang indah tapi tetap saja begitu mengharapkan teman hidup. Lalu Allah pun menciptakan Siti Hawa dari tulang rusuk Nabi Adam. Allah menciptakan perempuan, lawan jenis laki-laki untuk menjadi pelengkap kebutuhan batin dan sekaligus lahir Nabi Adam yang adalah seorang laki-laki. Singkatnya, dari kisah beliau ini, kita bisa memahami bahwa kita pasti membutuhkan jodoh, teman yang bukan hanya sementara, tapi selamanya hingga Allah saja yang memisahkan.
Bahwa jodoh mestilah seorang teman sejati, maka Allah pun membuat aturan indah yang disebut ‘pernikahan’, sebuah aturan yang membebankan kewajiban sekaligus menghadiahkan hak-hak atas sepasang suami istri yang menjalaninya. Dengan pernikahan ini, kesejatian seorang jodoh akan lebih terjamin dan kebahagiaan akan lebih sempurna. Dan karena keinginan hidup bersama dengan lawan jenis adalah fitrah, maka baru akan lahir suatu kelegaan jika ia telah terpenuhi. Pada akhirnya, menikah pun menjadi sebuah kebutuhan yang boleh dibilang primer. Jadi, sudahkan anda menikah?
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar. Ruum 21).
Ya, menikah. Tampaknya memang begitu mudah dan memang mudah, syaratnya. Tak perlu banyak uang untuk menikah ala islam, mas kawin berupa alat shalat, boleh. Tak harus juga terlalu banyak orang, dua orang saksi laki-laki saja sudah cukup. Namun dalam prakteknya, ternyata tak jarang sebagian orang harus melalui jalan panjang yang berliku bahkan berduri untuk mewujudkannya. Terkadang dibutuhkan ikhtiar pencarian yang bukan cuma sekali tapi beberapa kali bahkan sangat banyak kali. Bukan sekedar iktiar ringan seperti memasang promosi barang di media online dengan sekali klik, tapi bahkan ikhtiar berat yang sampai menguras pikiran dan perasaan.
Namun ikhtiar tingkat berat pun tak jarang harus kandas, tak berhasil, gagal. Entah karena tidak adanya restu dari orang tua, atau faktor lain. Jika hal ini terjadi setelah berusaha sebaik mungkin, apa berarti Allah sudah tidak sayang lagi dengan kita? Tentu saja tidak. Adalah sebuah kmustahilan jika Allah tidak menyayangi hamba-hamba-Nya yang telah berusaha menyempurnakan separuh agamanya. Lalu kenapa? Boleh jadi karena satu dari tiga alasan. Pertama, karena Allah telah menyiapkan jodoh yang lebih tepat untuk kita.
Persoalan tepat atau tidak tepatnya seseorang dengan kita, misalnya kita ambil contoh seperti ini: ada pria dan wanita yang baik, keduanya rajin beribadah, keduanya punya kemampuan membaca Al-Qur’an yang baik, keduanya cerdas. Tapi ternyata belakangan setelah ta’aruf berjalan, barulah kelihatan bahwa si pria punya watak keras dan tidak suka dibantah, begitu pun si wanita tak mudah mengalah terlebih jika ia berpendapat bahwa dirinya yang benar. Singkat kata, karakter mereka tidak cocok, walau pada dasarnya mereka berdua adalah orang-orang yang baik.
Terkadang dua orang dengan karakter yang sama cocok jika disatukan, tapi tidak jarang juga justru dua orang dengan karakter yang sama malah menimbulkan banyak masalah setelah hidup bersama. Pernahkah anda perhatikan sepasang suami istri yang langgeng bukan karena persamaan karakter seperti koleris dan koleris yang keduanya sama-sama keras, tapi justru karena perbedaan (baca: kecocokan) karakter seperti koleris yang keras dan plegmatis yang cinta damai? Allah-lah yang Maha Tahu soal kecocokan tersebut.
Lalu mungkin timbul pertanyaan di benak kita, bagaimana dengan kegagalan dalam berumah tangga? Bukankah Allah yang menjodohkan sepasang suami istri tersebut? Kenapa Allah menakdirkan mereka berjodoh jika ternyata karakter mereka tidak cocok hingga akhirnya terjadi perceraian?
Perlu dipahami bahwa perceraian terjadi atas sikap masing-masing suami istri. Jika keduanya (bukan salah satunya saja) bisa lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan, maka insya Allah perceraian tidak akan terjadi. Adapun perceraian adalah kebolehan atau alternatif terakhir. Pendewasaan terkadang tidak terbentuk instan tapi butuh kegagalan-kegagalan, termasuk kegagalan dalam berumah tangga. Contohnya, kegagalan pernikahan Zainab binti Jahsy dan Zaid bin Haritsah, dikarenakan salah satu pihak yakni Zainab binti Jahsy merasa lebih tinggi kedudukannya. Setelah cerai dan beliau menjadi istri Rasulullah, beliau pun dididik oleh sang suami untuk bertindak lebih dewasa dalam ketaqwaan kepada Allah. Hingga akhirnya beliau menjadi istri Rasul yang paling gemar bersedekah.
Kita lanjut ke alasan kedua, yakni karena belum waktunya menikah. Boleh jadi nanti dengan orang yang sama tapi di saat yang tepat. Keberadaan kita mungkin masih dibutuhkan di kondisi-kondisi tertentu dalam status kita yang masih sendiri. Ambil contoh, hari ini anda gagal melanjutkan ta’aruf ke jenjang pernikahan dengan seorang yang telah sangat klop menurut anda. Ternyata, di hari-hari berikutnya nenek buyut anda sakit dan tenaga anda sangat dibutuhkan untuk total merawatnya. Atau bisa jadi karena kondisi-kondisi lain, anda tiba-tiba menjadi sangat dibutuhkan untuk berperan aktif dalam suatu gerakan sosial misalnya. Yang mungkin akan sulit jika anda sudah berkeluarga. Intinya, ada hal lain yang lebih urgen untuk kita fokus lakukan dulu.
Alasan yang terakhir atau yang ketiga, karena Allah ingin kita memperbaiki diri dulu, mungkin saja jodoh kita ada di sekitar tapi kita belum pantas untuk menikah dengannya.
“(Lazimnya) perempuan-perempuan yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk perempuan yang keji (pula), dan perempuan-perempuan yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk perempuan-perempuan yang baik (pula).” (QS. An-Nur 26)
Perkataan Allah dalam ayat di atas merupakan suatu “aturan main”. Bahwa perempuan yang baik pantas untuk laki-laki yang baik begitu pun sebaliknya, dan perempuan yang tidak baik pantas untuk laki-laki yang tidak baik, begitu pun sebaliknya. Maka jika anda seorang laki-laki dan ingin mendapat jodoh perempuan yang baik, sudahkah anda pantas dipilih oleh perempuan yang baik? Jika anda perempuan yang ingin mendapatkan laki-laki yang baik, sudahkah anda pantas untuk dipilih oleh laki-laki yang baik? Bahkan konon katanya, seorang laki-laki maupun perempuan yang akhlaknya buruk sekalipun, tetap mengharapkan laki-laki atau perempuan yang baik sebagai pendamping hidupnya kelak.
Apakah hal tersebut merupakan kemutlakan? Bahwa tidak ada sama sekali manusia di dunia ini yang mengalami hal sebaliknya, yakni seorang yang baik berjodoh dengan seorang yang tidak baik? Jawabannya adalah tidak, karena kita punya Nabi Nuh dan Nabi Luth yang qadarallah berjodoh dengan istri-istri yang durhaka. Kenapa begitu? Allah menjawabnya dalam Q.S At-Tahrim ayat 10 :
“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah.”
Jadi, bukan kemutlakan tapi kelaziman atau sistem umum. Kita bisa buktikan dengan melihat ke lapangan, bahwa mereka yang berjodoh sebagai suami istri memiliki setidaknya level kebaikan yang tidak jauh berbeda. Adapun mereka yang memiliki pendamping yang akhlaknya jauh dari kata baik, Allah punya rencana yang lebih indah, boleh jadi berupa peningkatan derajat yang sangat tinggi. Bayangkan saja jika seandainya Asiyah istri Fir’aun tidak mendapat ujian dengan memiliki suami sesombong Fir’aun, mungkinkah Asiyah naik derajat hingga menjadi salah satu wanita yang dijamin masuk surga?
Dibutuhkan ikhtiar untuk berubah agar sistem ini terjadi pada kita. Ikhtiar yang menjadikan diri kita pantas dipilih oleh seseorang yang baik. Ikhtiar yang dengannya Allah ridho lalu menyatukan dua insan yang memang sudah sepantasnya bersatu dalam ikatan pernikahan. Tentu saja ditunjang dengan kecocokan karakter (alasan pertama) dan di waktu yang tepat (alasan kedua).
Maka berhusnudzonlah kepada Allah karena selalu ada tujuan baik atas takdir-Nya. Masalah siapa dan kapan itu masih rahasia-Nya, itu urusan-Nya. Urusan kita adalah berusaha semaksimal yang kita bisa, dengan tetap mematuhi rambu-rambu-Nya. Kita mungkin sudah sering berdo’a dan mengamini do’a kerabat atau teman-teman kita perihal mendapat jodoh. Tapi sampai detik ini, jodoh tak kunjung dapat. Beberapa kali ta’aruf selalu saja gagal. Sampai sempat merasa stres dan pesimis. Tapi kesendirian tanpa pendamping (yang insya Allah hanya sementara) ini akan terasa lebih ringan jika kita menyerahkan beban pikiran dan perasaan kepada Allah, dengan kata lain bertawakkal. Akhirnya, positive doing (ikhtiar meperbaiki diri), positive thinking (husnudzon kepada Allah), dan positive feeling (tawakkal) itulah kunci dari yang mesti kita lakukan sekarang. Selamat berjuang menjemput jodoh.
Fit Metamorzha
^^V
Kenapa Gagal Meraih Jodoh
Reviewed by Fitriani Razak
on
22.52
Rating:
Tidak ada komentar: