Malam ini, malam jum’at, aku pulang tanpa mendapatinya
terkulai lemah di pojok ruang tamu, atau di dekat kursi, atau sibuk berjalan
berputar tak tentu arah untuk melatih kemampuan kakinya. Dia, yang belum diberi
nama, memang hanya binatang. Hanya binatang bagi sebagian orang, mungkin bagi
tetanggaku yang rajin mengusir makhluk sebangsanya, atau mungkin bagi dia yang
6 hari lalu tanpa sengaja menindih kaki dan lehernya dengan ban motor.
Tapi bagiku, dia bukan sekedar seekor binatang.
Malam ini aku melewati halaman rumah yang masih terasa bau
binatang berbulu putih-kuning itu, aku memasuki ruang tamu yang juga masih
tercium aromanya yang selalu kusebut “kacci”. Dia sudah tak ada di ruangan itu.
Dia sudah tidak ada di dunia ini... Hanya jasad lembeknya yang tertanam dalam
tanah di samping rumah..
Masih terekam jelas rupa, bau, dan suara “ngeong”nya yang
seolah menangis menahan rasa sakit... Saat mengeong minta tolong itu, Kurumeong
pasti lekas-lekas menjilatinya. Aku masih ingat pemberontakannya tiap kali
dipaksa menelan madu dan susu sebagai usaha kami mempertahankan hidupnya, juga
saat aku dan ibu mencuci kakinya setelah tercebur di got yang tak dilihatnya
akibat matanya yang menjadi buta. Hewan kecil yang baru berusia sebulanan itu
harus merasakan sakit yang sedemikian sakit. Mengapa Tuhan tidak langsung
mencabut nyawanya? Dengan yakin aku berargumen, karena dia akan sembuh...
Tadi siang pukul setengah satu, argumenku terbukti salah.
Dia menghembuskan nafas terakhirnya di depan mataku. Sedih dan lega... Penderitaannya
sudah berakhir.....
Selamat tinggal anak Kurumeong yang dulu selalu menolak
kusentuh, dan baru selama 6 hari ini terasa sangat dekat denganku...
Oh ya, kemana arwahmu setelah dicabut?
Makassar, 14 Juni 2012
10.10 malam
..... Bin Kurumeong
Reviewed by Fitriani Razak
on
16.43
Rating:
Thanks for joining and visiting my blog. It's nice to visit here, too
BalasHapus